01 December 2007


Siapa yang gak tahu atau belum pernah melihat Becak??? kendaraan roda tiga yang umumnya menempatkan sang pengemudi di belakang penumpang. Becak adalah sebuah artikulasi budaya yang terjaga selama lebih dari seabad.

Tukang becak di Jakarta dipanggil "bang", di Jawa "Mas" di Makassar dipanggil "daeng". Sebuah relatifitas sapaan yang disesuaikan dengan krama terhadap kakak dalam kasta yang lebih rendah atau setara. Kenapa??? karena agak aneh kalau kita memanggil tukang becak "Oom", "Ndoro" atau "Puang"

Bentuk becak juga dapat ditafsirkan sebagai sindiran lembut buat manusia lokal, mengapa becak di Jakarta jauh lebih pendek dibanding becak Solo, karena orang Jakarta nggak mau capek angkat kaki. Atau becak Makassar lebih sempit dari becak Jakarta, seakan – akan orang Jakarta suka jadi jagoan di jalan, lebih gemuk serta sejahtera.

Becak juga kerap dipandang sebelah mata, sebagai sebuah bagian kerumitan kota. Becak membuat kota terlihat kumuh, tidak tertata dan yang menyedihkan tukang becak dianggap sebagai entitas ekonomi yang gagal. Tak jarang orang tua sering menakuti anaknya yang tidak mau belajar dengan kalimat, "...awas kalau gak mau belajar, nanti sudah besar jadi tukang becak!!!"

Barang ini juga mewakili nilai kekompakan serta spartanitas sebuah kelompok, ketika saya masih kecil. Salah seorang tetangga saya meninggal karena dikeroyok tukang becak. Alasannya sepele, salah seorang tukang becak sempat dipukul tetangga saya, lantas seluruh koleganya marah dan mendatangi rumahnya.


Meski demikian sadarkah kita, ada nilai - nilai kearifan dari komunitas tukang becak??? kearifan yang sepatutnya ditiru oleh sebagian masyarakat dan pejabat di negri ini. Coba perhatikan ketika tukang becak mencari penumpang. Sangat jarang sekali mereka berebutan atau saling sodok seperti tukang ojek.

Bahkan tidak jarang, mereka rela berbagi rezeki jika ada rekannya yang belum mendapat penumpang. Saya punya pengalaman unik, saat turun dari angkot, saya langsung menaiki sebuah becak yang tergolong bersih dan bagus. Namun serta merta pengemudinya menolak dan meminta saya menaiki becak rekannya, “dia belum dapat penumpang mas…” uups betapa bijak nya.

Bayangkan, jika budaya legowonya tukang becak ini diterapkan oleh sebagian masyrakat kita. Atau mengalah pada kepentingan yang lemah ini terjadi pada sebagian pengusaha besar dan pejabat negara ini… damainya.

Tanpa memandang sisi negatifnya, tentu kita juga menginginkan nilai – nilai kearifan tukang becak terjadi di negri ini.

(Makassar, 301107)

1 pendapat:

Anonymous said...

jadi kangen naek becak di makasar...
iya becaknya memang lebih sempit ya..

Categories

Pages

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget